Sudah terlalu banyak artikel yang
dimuat di berbagai media cetak yang isinya membahas bagaimana potret buram
dunia pendidikan di Indonesia, dari masalah kecil sampai masalh yang melibatkan
skandal dan korupsi. Kali ini saya tidak akan terlalu meyoroti bagaimana proses
pendidikan secara general, namun ini adalah sebuah potret nyata pendidikan di
Indonesia di lingkungan dekatku. Potret buram yang masih terus diberdayakan
oleh beberapa oknum untuk meraup keuntungan besar, untuk memperkaya diri dan
yang paling penting untuk memperbesar rasa prestige di hadapan orang lain.
Saat ini sudah banyak institusi
sekolah entah itu swasta atau negeri yang secara terang-terangan menggunakan
adat Nepotisme sebagai landasan mereka untuk mendidik, banyak para pengajar
yang sejatinya mereka juga belajar mengajar, meski sebenarnya mereka juga
berpendidikan tinggi namun rasanya kesinambungan antara mendidik anak didik dan
mengajari mereka sesuatu yang baru masih sangat jauh dari harapan. Bayangkan
saja, untuk memasuki sebuah institusi sekolah mereka harus rela mengeluarkan
biaya yang alasannya untuk administrasi, angkanya pun tidak tanggung-tanggung
bisa mencapai puluhan juta. Buntut akhirnya, bukannya memberikan materi
pelajaran namun pada akhirnya mengejar materi agar uang yang telah
dikeluarkannya bisa cepat kembali.
Orang berpendidikan yang mendidik
sejatinya tidak akan mengutamakan materi, karena mereka akan dengan ikhlas
memberikan pendidikan dan pengajaran yang akan mengubah peserta didiknya
menjadi lebih baik. Mereka yang berpendidikan pasti tau kemana arah mereka akan
memberikan materi pelajaran. Sedangkan mereka yang berpendidikan, namun hanya
sebagai pengajar yang belajar mengajar. Bayangkan saja, sudah banyak orang yang
sejatinya bukan ahlinya di bidang ilmu tersebut nyatanya mengampu materi
tersebut, apa jadinya? Ya, anak didiklah yang menjadi korban keganasan adat
Nepotisme yang berlebihan.
Ini adalah sebuah kisah nyata
dari seorang sahabat, dia adalah seorang sarjana pendidikan muda dari salah
satu perguruan tinggi, suatu waktu ada salah satu oknum (sebut saja guru
abal-abalan) mendatanginya dengan wajah bahagia dan bercerita tentang sebuah
institusi yang membutuhkan guru bantu, sedikit bahagia namun berlanjut sangat
marah ketika si oknum itu berbicara, “siapkan uang 20 juta ya?”. Serentak
sarjana muda yang masih idealis itu langsung menyentak omongan oknum itu dengan
sebuah kata yang langsung membuatnya pergi dari rumahnya, “bukan masalah uangnya,
tapi uang sebanyak itu untuk apa, Anda bisa menjamin jika saya akan jadi
Pegawai Negeri.”
Ya memang tidak dipungkiri, ujung
akhirnya setiap pengajar di sebuah institusi ingin menjadi seorang Pegawai
Negeri dengan alasan hidupnya akan semakin sejahtera, namun apalah artinya
menjadi Pegawai Negeri jika hanya mengorbankan peserta didik Anda. Jadi mulai
dari sekarang mendidiklah layaknya orang yang berpendidikan tinggi, mengajarlah
sesuai dengan apa yang kamu kuasai. Jangan menjadi seorang pengajar yang baru
belajar mengajar.
0 Response to "Orang Berpendidikan yang Mendidik atau Pengajar yang Belajar Mengajar"